Menganalisis Perubahan Estetika pada Novel
TUGAS
Menganalisis
Perubahan Estetika pada Novel
Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Estetika
Oleh
:
Nama : M. Harsa Bahtiar
NIM : 2101411115
Rombel
: 6
A.
Pergeseran
Sastra Novel
Pada
faktanya perjalanan sebuah karya sastra mengalami banyak pergeseran, hal itu
dipengaruhi oleh banyak faktor yang antara lain adalah faktor lingkungan dan
nilai tradisi yang di anut oleh masyarakat di suatu zaman tersebut. Pergeseran
sastra tersebut tentu mempengaruhi keindahan suatu karya. Setiap periode
memiliki nilai keindahan atau nilai estetika yang berbeda. Hal itu dapat
dilihat dari tema, alur, gaya penceritaan dan struktur karya. Dari banyak
periode tersebut topik pembahasannya adalah pergeseran yang terjadi pada karya
sastra berjenis novel pada angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45,
Angkatan 66, dan Angkatan 2000.
Pada
Angkatan Balai Pustaka, banyak karya sastra berjenis novel yang mengangkat tema
tradisi kawin paksa seperti yang terdapat di novel “Siti Nurbaya”. Tema
tersebut menjadi nilai estetika sendiri dimana tragedi kawin paksa menjadi
permasalahan yang ditonjolkan pengarang untuk menunjukkan kekuatan isi novel
tersebut. Bahkan kawin paksa tersebut mampu dikenang oleh penikmat karya sastra
hingga sekarang seperti contoh penggunaan Novel Siti Nurbaya didalam sebuah
drama yang dimasa sekarang masih banyak diperagakan baik itu di dunia
pendidikan maupun di dunia seni sastra. Alur yang digunakanpun masih maju
sederhana. Menggunakan gaya penceritaan yang dipengaruhi oleh sastra melayu
yang mendayu-dayu. Karena mendapat pengaruh dari sastra melayu, penggunaan
bahasa melayu pun tidak dapat terhindarkan, hal itu menjadikan ciri tersendiri
bagi Angkatan Balai Pustaka dan merupakan nilai estetika yang sangat kuat
didalam diri Angkatan Balai Pustaka.
Pada
Angkatan Pujangga baru, Bertema Nasionalisme bangsa Indonesia, memasuki
kehidupan modern, menampakkan kebangkitan kaum muda. Banyak terpengaruh oleh
Angkatan 1880 di Negeri Belanda. Namun penggunaan bahasa Indonesia sangat
dominan pada angkatan ini. Pada masa ini terjadi polemik yang seru antar
tokoh-tokohnya. Hal itulah yang menjadi salah satu keindahan pada angkatan
Pujangga baru, banyak tokoh yang memiliki pandangan tentang bentuk karya sastra
yang diciptakannya yaitu orientasi atau pengaruh dari dunia luar.
Angkatan
45, Bicara tentang kegetiran nasib di tengah penjajahan Jepang yang sangat
menindas, menampilkan cita-cita merdeka dan perjuangan revolusi fisik. Pada
masa Jepang untuk berkelit dari sensor penguasa, berkembang sastra simbolik.
Muncul ungkapan-ungkapan yang singkat-padat-bernas dan kesederhanaan baru
dengan kalimat pendek-pendek nan lugas (gaya Idrus dalam prosa fiksi/sketsa).
Hal itu menjadikan karya angkatan 45 memiliki ciri estetika yang kuat dimana
karya-karya yang ada didalamnya dijadikan media untuk lepas dari jajahan
penguasa sehingga mampu menjadi sejarah yang bisa saja tak terlupakan oleh para
sastrawan Indonesia. Nilai estetikanya tentu pada bentuk fisik karya seperi
gaya bahasa dan kekuatan sebuah tulisan yang mampu mengangkat seluruh aspek
pada karya sastra tersebut.
Angkatan
66, Menegakkan keadilan dan kebenaran berdasarkan Pancasila dan UUD 45,
menentang komunisme dan kediktatoran, bersama Orde Baru yang dikomandani
Jendral Suharto ikut menumbangkan Orde Lama, mengikis habis LEKRA dasn PKI.
Sastra Angkatan ’66 berobsesi menjadi Pancasilais sejati. Penggunaan bahasa
Indonesia yang bebas dan bergaya ekspresionisme sehingga mampu memberi kesan
tersendiri pada angkatan ini bahwa pada tahun sekitar 1966 terjadi sebuah
tragedi dimana sastrawan menulis karyanya sebebas-bebasnya dengan tujuan
mencari identitas diri, inilah yang menjadi salah satu sisi keindahan dalam
angkatan 66 yang menjadi ciri khas yang kuat dalam karya-karya pada angkatan
tersebut.
Pada
Sastra Angkatan 2000-an, dipelopori oleh Korrie Layun Rampang merupakan era
Reformasi yang sangat anti KKN dan praktik-praktik otoriter, penuh kebebasan
ekspresi dan pemikiran, mengandung renungan religiusitas dan nuansa-nuansa
sufistik. Menampilkan euforia menyuarakan hati nurani dan akal sehat untuk pencerahan
kehidupan multidimensional. Taufiq Ismail yang pernah terkenal sebagai tokoh
sastra Angkatan ’66 ikut mengawal Reformasi dengan bukunya antologi puisi “Malu
Aku Jadi Orang Indonesia” (MAJOI). Di samping menampilkan sanjak-sanjak peduli
bangsa (istilah yang diusung rubrik budaya Republika) dan karya-karya reformasi
yang anti penindasan, gandrung keadilan, berbahasa kebenaran (sesuai Sumpah
Rakyat 1998), muncul pula fenomena kesetaraan gender. Pada Angkatan ini, sastra
modern pada angkatan 2000-an lebih banyak ke bentuk sastra fiksi dimana banyak
sekali pengarang-pengarang yang sukses dengan karya yang dibuatnya. Hal ini
karena isi yang terkandung sesuai dengan zaman yang ada pada saat ini, ditambah
lagi penggunaan setting cerita yang menambah nilai estetika di sebuah karya
novel, seperti Habiburrahman El Shirazy yang mengambil Timur Tengah sebagai
latar setting dalam novel-novelnya. Bahasa yang digunakan sudah mendapat banyak
pengaruh dari luar, bahkan sudah ada pengarang yang mengadopsi bahasa gaul untuk
mempertegas maksud cerita didalamnya sekaligus memberi kesan unik dan indah
dalam karya tersebut.
B.
Kumpulan
Sastraawan Angkatan 2000-an
- Laskar Pelangi (2005)
- Sang Pemimpi (2006)
- Edensor (2007)
- Maryamah Karpov (2008)
- Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas (2010)
4. Dewi
Lestari
- Supernova 1: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh (2001)
- Supernova 2.1: Akar (2002)
- Supernova 2.2: Petir (2004)
5. Habiburahman
El Shirazy
- Ayat-Ayat Cinta (2004)
- Diatas Sajadah Cinta (2004)
- Ketika Cinta Berbuah Surga (2005)
- Pudarnya Pesona Cleopatra (2005)
- Ketika Cinta Bertasbih 1 (2007)
- Ketika Cinta Bertasbih 2 (2007)
- Dalam Mihrab Cinta (2007)
6. Herlinetiens
- Garis Tepi Seorang Lesbian (2003)
- Dejavu, Sayap yang Pecah (2004)
- Jilbab Britney Spears (2004)
- Sajak Cinta Yang Pertama (2005)
- Malam Untuk Soe Hok Gie (2005)
- Rebonding (2005)
- Broken Heart, Psikopop Teen Guide (2005)
- Koella, Bersamamu dan Terluka (2006)
- Sebuah Cinta yang Menangis (2006)
7. Raudal
Tanjung Banua
- Pulau Cinta di Peta Buta (2003)
- Ziarah bagi yang Hidup (2004)
- Parang Tak Berulu (2005)
- Gugusan Mata Ibu (2005)
8. Seno
Gumira Ajidarma
C.
Perbandingan
Nilai Estetika Novel
Pada
sub bab perbandingan nilai estetika pada novel, saya memilih 3 novel tiap
angkatan, yaitu novel “Pudarnya Pesona Cleopatra” karya Habiburrahman El
Shirazy angkatan 2000, novel “Tiba-Tiba Malam” karya Putu Wijaya angkatan 66,
dan Novel “Katak Hendak jadi Lembu” Karya Nur St. Iskandar.
1.
Novel
“Pudarnya Pesona Cleopatra” karya Habiburrahman El Shirazy
a.
Sinopsis
Novel
Novel
“Pudarnya Pesona Cleopatra” ini menceritakan kisah seorang laki-laki yang
menikahi seorang wanita yang telah dipilih oleh orang tuanya. Wanita tersebut
bernama Raihana. Seorang gadis solehah yang pandai agama bahkan hafal Ayat-ayat
Suci Al-Quran. Laki-laki itu sebenarnya tidak begitu mencintai Raihana, namun
karena orangtuanya telah menjodohkannya sejak sebelum mereka lahir, sehingga
dia tidak berani menolaknya karena merasa kasihan apabila menolak pernikahan
tersebut takut mengecewakan kedua orangtuanya, baik itu orangtua lelaki itu
maupun orangtua dari Raihana. Walaupun Raihana adalah seorang gadis yang cantik
dan nampak lebih muda darinya namun pada faktanya Raihana lebih tua 2 tahun tak
membuat laki-laki itu suka dengan gadis itu. Dia malah mengidolakan sosok gadis
titisan Cleopatra, gadis Mesir yang selalu menjadi angan-angan bahwa ia akan
menikahinya. Namun pada akhirnya dia menikah dengan raihana, wanita yang
benar-benar tak dicintainya, bahkan dikehidupan sehari-hari dia mencoba
menganggap bahwa Raihana adalah gadis impiannya tersebut.
Pernikahannya
telah berjalan 6 bulan. Ia lalui dengan terpaksa hingga akhirnya Raihana hamil
dan meminta untuk tinggal bersama kedua orangtuanya karena merasa khawatir
dengan kandungannya yang baru pertama gadis itu rasakan. Laki-laki itu
memperbolehkan Raihana tinggal bersama kedua orangtua kandungnya. Setelah
ditinggal pergi, laki-laki itu hidup sendiri, hingga pada akhirnya ia mendapat
tugas diluar kota. Ketika
sampainya ditempat kerja lelaki itu mendengar perbincangan Pak Hardi dengan
teman kerjanya yang sedang membicarakan Pak Agung seorang dosen muda dan
terkemuka. Ia berhasil menyunting promotornya Judith Barton dan ketika Pak
Agung telah menikah dengan Judith, kemudian Judith ketahuan sedang berselingkuh
dengan mantan pacarnya orang Amerika dan Pak Agung pun memberi pilihan pada istrinya
untuk memilih dia atau mantan pacarnya. Judith pun memilih mantan pacarnya
ketimbang suaminya. Akhirnya Pak Agung pun bercerai dengan Judith sampai
akhirnya Pak Agung menjadi gila , itulah kisah Pak Agung.
Laki-laki itu menghampiri Pak Qolyubi, dia meminta Pak Qolyubi untuk bercerita
dan akhirnya mau. Pak Qolyubi pernah menikahi seorang gadis Mesir yang sangat
cantik, Yasmin namanya. Awalnya pernikahan mereka berdua sangat indah hingga
dikaruniai 3 orang anak. Namun pada akhirnya Pak Qolyubi memutuskan untuk
pindah ke Indonesia tanpa Yasmin karena tidak mau. Yasmin memberi persyaratan
bahwa setahun sekali Pak Qolyubi disuruh untuk kembali ke Mesir dan itu
dilakukannya sampai akhirnya usaha Pak Qolyubi bangkrut dan Yasmin pun meminta
cerai karena Pak Qolyubi sudah tak sekaya dahulu. Mendengar cerita itu,
laki-laki itu langsung pulang untuk menemui istrinya Raihana, namun begitu
kagetnya ia setelah tau bahwa Raihana meninggal dunia karena terpeleset di
kamar mandi saat mandi. Penyesalan memang selalu datang di akhir. Wanita yang
begitu mencintai laki-laki itu kini telah pergi disaat ia mulai sadar bahwa
benih-benih cinta mulai muncul. Namun apadaya Tuhan berkehendak lain. Hari itu
dia melihat batu nisan diatas gundukan tanah bertuliskan nama dan tanggal wafat
Raihana, negitu menyesalnya dia, menangis meronta-ronta kehilangan manusia yang
amat sayang padanya dan kini ia menangis seperti orang gila. Dunianya pun tiba-tiba
menjadi gelap.
b.
Analisis
Estetika Novel
·
Tema
Kasih
sayang yang dibalas dengan keangkuhan dan berujung penyesalan.
·
Alur cerita
Alur yang digunakan dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra
adalah alur maju. Cerita dari novel ini berkisar pada tokoh utama yang memiliki hasrat untuk
beristrikan gadis Mesir tetapi harus pasrah pada perjodohan ibunya dengan gadis
cantik, pintar dan shaleh dari Jawa. Berisi pergolakan bathin yang hebat antara
hasrat dan kenyataan yang dihadapinya sampai akhirnya ada kesadaran yang
terlambat penuh penyesalan.
·
Gaya Penceritaan
Gaya
penceritaan pengarang, yaitu Habiburrahman El Shirazy ini adalah menjadikan
penulis sebagai orang pertama dalam cerita, tokoh “aku” menjadi satu-satunya
tokoh yang bercerita tentang kehidupannya. Pengarangpun memasukkan berbagai
jenis majas yang mampu membawa nilai keindahan lebih kedalam novel ini. Gaya penceritaan yang mudah dipahami inilah
yang menjadi ciri pengarang dan juga ciri dari sastra angkatan 2000.
·
Gaya Bahasa
Gaya
bahasa pada novel ini sangat mudah dipahami karena menggunakan bahasa Indonesia
modern sesuai dengan penikmat novel ini. Angkatan 2000an memang menggunakan
bahasa yang lebih modern dan disertai dengan majas-majas yang tidak membuat
rumit namun mengangkat kualitas cerita.
·
Struktur Karya
Struktur
karya sastra mengarahkan pada pengertian hubungan antara unsur-unsur pembangunnya
(intrinsik) yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi,
dan secara bersama-sama membentuk satu-kesatuan yang utuh. Novel ini mampu
menggabungkan semua hal itu. Hal itu dapat diketahui bahwa penggunaan latar
Mesir mampu mempertegas cerita. Penggunaan Majas yang sangat tepat dan tidak
menambah kerumitan cerita menjadikan novel ini lebih indah dan pembacanya
benar-benar menikmati. Terjadi 3 hal dalam tema novel ini, berawal dari kasih
sayang yang dibalas keangkuhan dari sang laki-laki itu hingga berujung penyesalan.
Penggabungan permasalahan tersebut nampak tepat dan cocok sehingga cerita yang
disuguhkan pun mampu membuat pembaca merasakan suasana dalam novel.
2.
Novel
“Tiba-Tiba Malam” karya Putu Wijaya
a.
Sinopsis
Novel
Sunatha,
seorang guru SMP. Dia
menikahi kembang desa yang masih sangat muda, bernama Utari. Sebagian warga desa, terutama para pemuda didesa
tersebut merasa tidak ikhlas melihat
pernikahan Sunatha dengan Utari. Karena
Utari adalah wanita yang sangat cantik bahkan paling cantik di desa. Mereka beranggapan bahwa Sunatha yang hidup pas-pasan tidak pantas untuk
Utari. Banyak orang
beranggapan bahwa hidup Utari pasti ankan sengsara setelah memutuskan menikah
dengan Sunatha. Selain itu, semua orang tahu
bahwa Sunatha digosipkan sebagai pria yang mengidap impoten.
Pada malam
pertama mereka, Sunatha tidak menyetubuhi Utari. Dia merasa bersalah karena mendapat
kabar untuk bekerja di luar pulau Bali, padahal usia pernikahan keduanya masih
satu hari. Keesokan harinya, Sunatha berangkat
ke Kupang untuk bertugas di sana. Utari menangis dan menuduh Sunatha telah
mengguna-gunainya. Sunatha mencoba menenangkan Utari yang merasa kecewa,
namun keputusannya untuk menerima pekerjaan itu tetap bulat dan memutuskan
untuk pergi ke Kupang meninggalkan Utari. Sebetulnya Utari ingin ikut Sunatha,
namun dilarang karena di Bali Utari harus menjaga ibunya dan keluarganya.
Mendengar berita itu, Ibu Utari merasa kasihan, oleh karena itu, Utari dibawanya pulang. Utari menceritakan bahwa dia belum disetubuhi oleh
Sunatha dan menganggap bahwa ia di guna-gunai agar mau menikah dengan Sunatha.
Ibunya juga percaya bahwa Sunatha
telah mengguna-gunai putrinya.
Ngurah, pemuda
terkaya di desa tersebut mengetahui permasalahan Utari dan bernia mendekati Utari. Ngurah yang memang menyukai
Utari. Awalnya, dengan sopan Ngurah mengajak Utari berobat ke kota. Utari
tinggal di rumah kerabat Ngurah. Hubungan mereka berkembang semakin dekat,
misalnya menonton film di bioskop. Bahkan, mereka pergi berdua saja ke Surabaya,
lalu Banyuwangi. Di sana mereka bersikap seperti suami istri, termasuk
berhubungan intim. Kelakuan
mereka terdengar sampai juga di telinga warga desa, termasuk keluarga Sunatha. Namun
Keluarga Sunatha belum mau menuduh tanpa ada bukti yang menyertainya, mereka
hanya mendengar dari mulut-mulut warga desa. Warga desa tidak berani menentang,
karena Ngurah adalah pemimpin yang sangat dihormati. Bahkan Wargapun menyetujui
Utari dengan Ngurah, karena sudah pasti hidupnya terjamin.
Disisi lain, keluarga
Sunatha mengalami berbagai kesulitan. Ibu Sunatha sakit. Ayah Sunatha
dipengaruhi oleh orang asing bernama David sampai-sampai dikeluarkan dari krama
banjar dan menjadi gila. Adik Sunatha, yaitu Sunithi, harus menghadapi semua
ini seorang diri karena Sunatha yang tengah bekerja di Kupang. Dia merawat ibunya sekaligus
menggantikan ayahnya mengurus sawah keluarga. Merasa sudah
tidak kuat lagi dengan kondisi yang Dunithi jalani, ia mengirim surat kepada Sunatha mendesak supaya segera pulang. Dalam surat itu dia menceritakan
semua hal yang terjadi di desa Krama Banjar, termasuk perselingkuhan istrinya,
Utari.
Sunatha memutuskan
pulang, dia pulang tidak lama setelah
ibunya meninggal. Dia merasa kaget atas kejadian itu dan meminta
penjelasan kepada Sunithi tentang apa yang terjadi. Setelah tahu Ngurahlah yang
merebut istrinya, berkelahilah dengan Ngurah. Tindakannya ini membuat warga desa marah. Mereka bahkan
menggali kembali kuburan ibu Sunatha. Melihat hal ini, Sunatha
merasa kecewa dan harus mengalah kepada Ngurah, dia membiarkan Utari memilih,
dan ternyata Utari lebih memilih Ngurah. Dengan wajah sedih, Sunatha meminta maaf kepada mereka terlebih kepada keluarga Utari. Berkat kebesaran hati Ngurah, warga desa menerima keluarga Sunatha
kembali dalam krama banjar. Akhirnya Sunatha mengikhlaskan Utari kepada Ngurah.
Setelah upacara pernikahan antara Ngurah dengan Utari diadakan, Sunatha memutuskan
lagi untuk berangkat bertugas kembali ke
Kupang dan
berharap dapat melupakan Utari.
b. Analisis Estetika Novel
·
Tema
Tema dalam novel ini adalah pelanggaran terhadap tanggung jawab dan
norma yang mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan. Tanggung jawab dan
norma yang harus dipatuhi oleh penduduk desa merupakan adat- istiadat yang
harus dilaksanakan oleh masyarakat setempat.
·
Alur
Alur dalam novel ini adalah alur maju.
Kejadian yang terjadi saat ini dapat berakibat atau memiliki dampak dikemudian
hari yang harus dilalui oleh masyarakat yang tidak patuh terhadap aturan-aturan
yang telah berlaku dalam masyarakat.
·
Gaya Penceritaan
Pada novel Tiba-tiba Malam,
budaya yng diangkat sangatlah kental, seperti pada tradisi kelompok. Tradisi
itu turun temurun yang jika dilanggar maka warga tersebut dikucilkan bahkan
tidak dianggap oleh masyrakat setempat. Ini membuat perbandingan pada zaman
sekarang, yang mana pada zaman sekarang, adat yang seperti itu dianggap kuno,
dan tidak sesuai dengan logika. Pemikiran orang Bali pada novel Tiba-tiba
Malam sangatlah sempit, karena orang yang tidak hidup berkelompok dianggap
melanggar adat. Padahal pada kenyataannya
hidup tidak hanya mementingkan kepentingan berkelompok melainkan
ada kepentingan pribadi yang harus dipikirkan.
Pada novel karya Putu Wijaya ini
juga terdpat banyak konflik. Awal cerita Tiba-tiba Malam adalah
kebahagian yang tercermin pada pernikahan Sunatha dengan Utari, namun pada
pertengahan cerita tejadi beberapa konflik-konflik dan pergolakan-pergolakan
antara Sunatha dengan Utari, Subali dengan masyarakat, Utari dengan keluarga
Sunatha, Weda dengan Renti, Sunatha
dengan Renti.
·
Gaya Bahasa
Sebagai seorang sastrawan, sudah
banyak karya yang dihasilkannya seperti Bila Malam Bertambah Malam, Telegram,
Stasiun, Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam, dan lain-lain. Sebagai seorang
sastrawan dari Bali tentu saja pola pikir Putu Wijaya mengarah kepada
kebiasaan-kebiasaan orang Bali. Gaya atau bahasa yang disajikan dalam setiap
karyanya sangat khas dan sangat menunjukkan bahwa ia memang orang Bali. Tapi
Putu menyatakan bahwa pada setiap karyanya tidak terpengaruh oleh Bali. Pada
novel Tiba-tiba malam yang akan dibahas ini, mengangkat seputar kehidupan
orang-orang Bali dan permasalahan-permasalahan adat.
·
Struktur Karya
Kaitan antara tema, latar, alur, dan penokohan
dalam novel Tiba-Tiba Malam ini dapat kita lihat bahwa dengan latar yang
terdapat di daerah Bali dengan segala aturan dan norma-norma dapat membentuk
watak penduduk yang tinggal di daerah tersebut dengan mematuhi aturan-aturan
yang telah berlaku. Tetapi ada juga sebagian dari penduduk yang tidak mematuhi
aturan-aturan yang telah berlaku sehingga warga tersebut memiliki watak yang
menyimpang. Hubungan antara latar, watak dan tema yaitu akibat adanya perilaku
yang menyimpang dari beberapa tokoh yang tinggal di dalam latar budaya sosial
Bali dengan segala aturan dan norma yang berlaku yang harus dipatuhi oleh
masyarakat menjadikan tema dalam novel ini yaitu pelanggaran terhadap tanggung
jawab dan norma yang mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan.
3.
Novel
“Katak Hendak jadi Lembu” karya Nur St. Iskandar
a.
Sinopsis
Novel
Zakaria, memiliki anak bernama
Suria, karena hidup berkecukupan membuat watak Suria selalu berfoya-foya. Haji
Hasbullah, teman karib Haji Zakaiya,
termasuk seorang haji yang kaya raya pula. Ia pun mempunyai seorang anak gadis
satu satunya bernama Zubaedah (edah). Zubaedah beparas cantik dan berbudi baik. Ayah Zubaedah telah memilihkan calon suaminya, Raden Prawira, yang
bepangkat manteri polisi. Akan tetapi, suatu ketika haji Zakaria datang kepada
Haji Hasbullah, memohon agar Zubaedah dinikahkan dengan Suria. Haji Hasbullah
tak dapat menolak pemintaan teman karibnya itu. Maka, penikahan Suria dan
Zubaedah dilaksanakan.
Perkawinan yang tanpa didasari
rasa cinta sama cinta itu justru membawa petaka bagi Zubaedah. Kesempatan bagi Suria adalah setelah
ayahnya meninggal dunia. Ia befoya foya dengan harta peninggalan ayahnya itu.
Selama tiga tahun, ia pun meninggalkan zubaedah yang baru melahirkan anaknya
yang pertama Abdulhalim.
Utang Suria terus menggunung.
Apalagi karena Suria berani mengambil barang barang lelangan atasannya. Maka,
untuk melunasi utang utang itu, Suria menjadi gelap mata. Ia ”telan” uang kas
di kantornya. Perbuatannya itu diketahui atasannya. Kemudian, ketika Suria
dipanggil atasannya, ia bahkan mengajukan permohonan behenti bekerja.
Rupanya, Suria telah merencanakan
sebelumnya. Dalam pikirannya, setelah berhasil menggelapkan uang kas, ia akan
membawa istri dan anak anaknya pindah ke rumah Abulhalim yang kini telah
bekerja dan telah pula berkeluarga. Suria mengirim surat kepada anaknya dan mengutarakan
maksudnya itu. Sebagai seorang anak yang ingin membalas budi orang tua,
Abdulhalim sama sekali tak merasa berkeberatan dengan keinginan ayahnya. Mulai
saat itu, Suria tinggal di rumah anaknya.
Orang tua itu rupanya benar benar
tak tahu diri. Ia tetap bersikap sepeti tuan rumah layaknya. Adapun Abulhalim
dan menantunya ianggap sebagai anak yang harus patuh pada orangtua, sekalipun
Abdulhalim sebagai kepala rumahtangga.”..Patutkah seorang menantu menghinakan
mertuanya, patutkah seorang perempuan bekata sekasar itu terhadapku, bekas
manteri kabupaten? Sudah salah ayahmu mengawinkan Abdulhalim dengan anak jaksa
kepala itu. Mengharapkan gelar dan paras saja. Coba diturutkan nasihatku
dahulu:dikawinkan Abdulhalim dengan anak wedana, yang telah jadi guru di Tasik
itu, tentu takkan begini jadinya”
Tak kuasa Zubaedah melihat
tingkah laku suaminya yang sering mencampuri urusan rumahtangga anaknya. Hal
itu pula yang membuat kehidupan rumah tangga anaknya mulai sering diwarnai
percekcokan. Bagi Zubaedah, keadaan demikian sungguh membuatnya tidak enak
hati. Bagaimanapun sebagai seorang ibu, ia ingin melihat anaknya hidup bahagia.
Kebahagiaan anaknya, justru terganggu oleh sikap Suria yang merasa bebas bebuat
sekehendak hati tehadap anaknya. Ia menyesalkan sikap suaminya. ”Sesal Zubaedah
terhadap Suria semata mata, dan sesal tak putus itulah yang mendatangkan
penyakit kepadanya” Tekanan batin yang mendatangkan itu pula yang mengantarkan
Zubaedah menghembuskan napasnya yang penghabisan. Ia meninggal di hadapan semua
kaum keluarganya.
Kematian istrinya telah membuat
Suria merasa sangat malu terhadap kelakuannya sendiri. Ia telah mengganggu
ketentraman kehidupan rumah tangga anaknya. Ia pula yang menyebabkan istrinya
menderita hingga maut menjemputnya. Perasaan malu yang tak tertanggungkan itu,
memaksa Suria mengambil keputusan; ia pergi entah ke mana. Pergi bersama
kesombongan dan keangkuhannya. Menggelandang membawa sifatnya yang tak juga
berubah.
b.
Analisis
Estetika Novel
·
Tema
“Katak Hendak
Jadi Lembu” adalah novel klasik yang mengandung nilai-nilai kehidupan dari
sepasang suami istri bernama Raden Suria dan istrinya Zubaidah. Novel ini
menceritakan tentang kehidupan Suria yang hanya bekerja sebagai mantri
kabupaten tetapi bertingkah bagai orang yang paling berkuasa di daerahnya
layaknya seekor katak yang ingin berubah menjadi lembu sangat sesuai dengan
judul novel tersebut.
·
Alur
Novel karangan
Nur Sutan Iskandar ini, menggunakan alur maju mundur (digresi) karena awalnya
pengarang mengenalkan situasi dan tokoh cerita, lalu kembali menceritakan
kejadian masa lalu ketika Suria dijodohkan dengan Zubaidah, kemudian kembali
memaparkan cerita yang menuju konflik. Sehingga digunakannya alur maju mundur
(digresi) ini, memudahkan pembaca untuk mengetahui awal penyebab konflik
sebelum mengetahui konflik yang terjadi. Sedangkan puncak konflik yang
digunakan adalah “sad ending” karena diceritakan bahwa Suria akhirnya meninggal
dunia.
·
Gaya Penceritaan
Berbeda
dengan roman lain dari angkatan Balai Pustaka yang lebih suka mengangkat tema
percintaan yang kini sudah usang (ingat ungkapan “sekarang bukan lagi jaman
Siti Nurbaya”?), maka tema yang diusung oleh roman yang ini seperti tidak
pernah lekang oleh jaman.
Kisah
ini ditulis dengan mengambil setting pada tahun 1930-an, ketika dunia sedang
dilanda resesi berkepanjangan. Kakek-nenek kita mungkin menyebut masa itu
sebagai jaman malaise, yang kerap dipelesetkan oleh lidah Melayu
sebagai jaman “meleset”.
Judul
Katak hendak jadi lembu, nampaknya diilhami dari fabel klasik tentang seekor
induk katak yang berusaha menggembungkan diri untuk meniru ukuran seekor lembu
yang digambarkan oleh anaknya. Alih-alih menyamai ukuran lembu, katak ini
akhirnya tewas karena badannya meledak! Kini kiasan ini digunakan untuk
melukiskan orang kebanyakan yang berusaha bergaya layaknya orang berpunya.
·
Gaya Bahasa
Meskipun novel
ini dikarang oleh pengarang yang berasal dari daerah Minangkabau, akan tetapi
pengarang mampu menulis novel yang kuat dengan menghadirkan latar tempat dan
latar sosial masyarakat Pasundan seperti yang dikatakan oleh Maman S. Mahayana
seorang kritikus sastra. Hal ini dibuktikan bahwa pengarang menceritakan adat
yang berlaku di Pasundan bahwa seorang anak gadis harus bersedia menikah dengan
seseorang pilihan orang tuanya bukan kehendak dirinya sendiri. Selain itu
pengarang terlihat piawai memainkan bahasa Sunda seperti “kabodoan” berarti
tertipu, ”ngigel” berarti menari, ”semah” berarti tamu dan juga bahasa Belanda
seperti “binnelandsch bestuur” berarti pemerintahan dalam negeri,
“hulpschrijver” berarti juru tulis pembantu.
·
Struktur Karya
Struktur
karya sastra mengarahkan pada pengertian hubungan antara unsur-unsur
pembangunnya (intrinsik) yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling
mempengaruhi, dan secara bersama-sama membentuk satu-kesatuan yang utuh. Banyak
unsur dalam novel ini yang menggugah perasaan pembaca yang dapat berhubungan
dengan keindahan penyajian bentuk maupun isi atau gagasan yang lucu dan
menarik. Roman karya Nur Sutan Iskandar ini berkisah tentang seorang keturunan
bangsawan Sunda yang tidak mau bekerja keras. Ia sangat bangga dengan
kebangsawanannya. Roman ini secara sekilas mengangkat persoalan manusia yang
melakukan atau mengharapkan sesuatu di luar batas kemampuannya.
D. Gejala Perubahan Estetika 3 Novel
1. Tema
Novel “Pudarnya Pesona Cleopatra” adalah novel
yang termasuk didalam angkatan 2000, seperti diketahui, pada angkatan 2000
jenis novel atau karya sastra yang diciptakan oleh seorang pengarang bersifat
modern dengan tema penuh kebebasan ekspresi dan pemikiran, mengandung renungan
religiusitas dan nuansa-nuansa sufistik. Menampilkan euforia menyuarakan hati
nurani dan akal sehat untuk pencerahan kehidupan multidimensional. Dan itulah
yang sudah dilakukan oleh Habiburrahman El Shirazy, dimana tema pada novel
karangannya itu tidak terikat oleh hukum-hukum ataupun lingkungan sekitar.
Novel “Tiba-Tiba Malam” karya Putu Wijaya
memiliki tema tanggung jawab, dimana pada angkatan 66 adalah angkatan yang
bergaya ekspresionisme, berbeda dengan angkatan 2000, angkatan 66 memang
bergaya ekspresionisme namun pada hakikatnya sastrawan dihadapkan oleh tanggung
jawab tentang apa yang sudah ia tulis, karena muncul orde baru dimana kebebasan
dibatasi oleh tanggung jawab, dan apabila menyinggung pemerintahan akan segera
ditangkap, oleh karena itu Putu Wijaya mengambil permasalahan kehidupan
bermasyarakat.
Novel “Katak Hendak Jadi Lembu” yang
dikisahkan oleh Nur Sutan Iskandar. Berbeda dengan roman lain dari angkatan
Balai Pustaka yang lebih suka mengangkat tema percintaan yang kini sudah usang
(ingat ungkapan “sekarang bukan lagi jaman Siti Nurbaya”?), maka tema yang
diusung oleh roman yang ini seperti tidak pernah lekang oleh jaman. Kisah ini
ditulis dengan mengambil setting pada tahun 1930-an, ketika dunia sedang
dilanda resesi berkepanjangan. Kakek-nenek kita mungkin menyebut masa itu
sebagai jaman malaise, yang kerap dipelesetkan
oleh lidah Melayu sebagai jaman “meleset”.
2. Alur
Perbedaan
alur pada ketiga novel tersebut dipengaruhi oleh unsur-unsur sastra yang dibawa
oleh angkatan masing-masing, pada angkatan balai pustaka dengan novel “Katak
hendak Jadi Lembu” menggunakan alur maju mundur atau degresi. Pada Angkatan 66
dengan novel “Tiba-Tiba Malam” menggunakan alur maju sama dengan novel
“Pudarnya Pesona Cleopatra” pada angkatan 2000, namun perbedaanya ada pada
jalannya cerita dimana “Tiba-Tiba Malam” alur cerita yang digunakan lebih rumit
sehingga butuh pemahaman lebih daripada novel “Pudarnya Pesona Cleopatra”.
3. Gaya
Penceritaan
Setiap
pengarang memiliki gaya penceritaan, Nur St. Iskandar memiliki gaya yang sangat
istimewa, yaitu menciptakan novel yang dimana novel tersebut tak lekang oleh
zaman, karena itulah hingga saat ini novel pada angkatan Balai Pustaka masih
mudah di temukan bahkan masih menjadi bahan ajar di sekolah.
Lain
halnya dengan Putu Wijaya, kehebatannya dalam menguasai tradisi suatu daerah
menjadi gaya tersendiri. Pada novelnya ini dia berhasil mengangkat budaya Bali,
meskipun ia tak lama tinggal di Bali. Namun apa yang dilakukan oleh Putu Wijaya
ini sangatlah tepat. Pada angkatan 66, banyak pergolakan karena banyak
pengarang yang tidak tanggung jawab atas tulisannya yang mengkritisi
kepemimpinan presiden. Maka dari itu Putu Wijaya menggunakan cara lain untuk
menunjukkan kepada orang lain bahwa penguasa pasti akan menang, yaitu melalui
novel “Tiba-Tiba Malam”
Gaya
Penceritaan Habiburrahman El Shirazy sudah banyak yang mengetahui, bahwa dia
selalu mengangkat tentang ajaran agama, seluruh karyanya mengangkat tema agama.
Dari itulah muncul gaya penceritaan yang bebas namun sopan karena harus
mengikuti norma agama. Dengan gaya penceritaan tersebut, terbukti novel yang ia
ciptakan mampu menampilkan sisi islam yang baik.
4. Gaya
Bahasa
Gaya
Bahasa sangat jelas terlihat pada 3 novel yang berbeda angkatan ini. Pada
angkatan balai pustaka menggunakan gaya bahasa melayu yang di gabungkan dengan
bahasa Indonesia. Pada novel angkatan 66, menggunakan gaya bahasa yang lugas
dan ekspresionisme untuk menunjukkan identitas diri. Dan pada angkatan 2000
lebih pada kebebasan berbahasa karena sudah memasuki era modern, jadi
percampuran bahasa sudah pasti tidak dapat terhindarkan, namun Habiburrahman
tetap menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar karena dia bertujuan
untuk memasarkan sastra Indonesia ke dunia luar agar Indonesia lebih dikenal
oleh dunia dalam hal karya sastranya.
5. Struktur
Karya
Struktur karya sastra mengarahkan pada
pengertian hubungan antara unsur-unsur pembangunnya (intrinsik) yang bersifat
timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, dan secara bersama-sama
membentuk satu-kesatuan yang utuh. Novel ini mampu menggabungkan semua hal itu.
Hal itu dapat diketahui bahwa penggunaan latar Mesir mampu mempertegas cerita.
Penggunaan Majas yang sangat tepat dan tidak menambah kerumitan cerita
menjadikan novel ini lebih indah dan pembacanya benar-benar menikmati. Terjadi
3 hal dalam tema novel ini, berawal dari kasih sayang yang dibalas keangkuhan
dari sang laki-laki itu hingga berujung penyesalan. Penggabungan permasalahan
tersebut nampak tepat dan cocok sehingga cerita yang disuguhkan pun mampu
membuat pembaca merasakan suasana dalam novel.
Kaitan
antara tema, latar, alur, dan penokohan dalam novel Tiba-Tiba Malam ini
dapat kita lihat bahwa dengan latar yang terdapat di daerah Bali dengan segala
aturan dan norma-norma dapat membentuk watak penduduk yang tinggal di daerah
tersebut dengan mematuhi aturan-aturan yang telah berlaku. Tetapi ada juga
sebagian dari penduduk yang tidak mematuhi aturan-aturan yang telah berlaku
sehingga warga tersebut memiliki watak yang menyimpang. Hubungan antara latar,
watak dan tema yaitu akibat adanya perilaku yang menyimpang dari beberapa tokoh
yang tinggal di dalam latar budaya sosial Bali dengan segala aturan dan norma
yang berlaku yang harus dipatuhi oleh masyarakat menjadikan tema dalam novel
ini yaitu pelanggaran terhadap tanggung jawab dan norma yang mengakibatkan
penderitaan yang berkepanjangan.
Banyak unsur dalam novel ini yang menggugah
perasaan pembaca yang dapat berhubungan dengan keindahan penyajian bentuk
maupun isi atau gagasan yang lucu dan menarik. Roman karya Nur Sutan Iskandar ini
berkisah tentang seorang keturunan bangsawan Sunda yang tidak mau bekerja
keras. Ia sangat bangga dengan kebangsawanannya. Roman ini secara sekilas
mengangkat persoalan manusia yang melakukan atau mengharapkan sesuatu di luar
batas kemampuannya.
E.
Simpulan
Pada
3 novel berbeda angkatan tersebut nampak sekali perbedaan yang terlihat, setiap
angkatan memiliki ciri estetika yang berbeda-beda. Seperti contoh pada angkatan
Balai Pustaka, dimana tema cerita menjadi nilai estetik yang sangat di
andalkan, seperti pada novel Siti Nurbaya dan Katak Hendak jadi Lembu karya Nur
St. Iskandar. Pada novel angkatan 66, estetika yang ditonjolkan adalah latar
setting dan kehidupan sosial dalam cerita, dalam novel Tiba-Tiba Malam
menonjolkan latar Bali yang kental dengan adat istiadatnya. Hal itulah yang
membuat novel Tiba-Tiba Malam karya Putu Wijaya memiliki nilai estetika yang
baik. Sedangkan pada novel angkatan 2000 pada novel Pudarnya Pesona Cleopatra
karya Habiburrahman El Shirazy lebih menonjolkan keindahan isi cerita yang
dikemas dengan baik sehingga pembaca ikut terbawa suasana dalam cerita, novel
angkatan 2000 menggunakan bahasa yang sudah modern sehingga pembaca merasa
lebih mudah memahami isi cerita.
Komentar
Posting Komentar